Rabu, 15 Oktober 2014

Random Post 2

Tidak bermaksud sok bijak dengan mencoba membaca isi hati sang waktu. Aku manusia, mustahil terlibat percakapan dengan waktu. Begitupun dengan pelangi atau juga embun. Suara hati mereka (jika boleh aku menyebutnya begitu dan  boleh aku menyamakan mereka dengan kita manusia, yang katanya punya hati yang seringkali bersuara) terlalu halus untuk kita tangkap.

Kita sekarang main kata "anggap saja" atau "seandainya". Mungkin mencoba berbagi, seakan pernah bercakap-cakap dengan waktu, embun dan pelangi.

Mari kita mulai, mari hantarkan aku pada perjalananku bertemu banyak hal. Dan kau memilihkan aku sebuah pintu bertulis "waktu", aku mengetuk pintu itu, dari dalam ku dapati sang waktu tengah sendu, dia bercerita banyak hal, yang jika boleh kurangkum dan kubahasakan sendiri, ini juga sebagai pembelaanku terhadap waktu.

Tak perlu menggerutu pada waktu, ketika tiba saatnya, waktu juga akan mengantarkan kita pada kondisi terbaik. tentunya bukan hanya baik menurut kita, tapi tentu baik menurut sang Maha Baik. justru pantaslah kita menerima gerutu dari waktu, ketika kita menyia-nyiakannya, bukankah ia bersedih? andai saja waktu punya raut dan ekspresi, tentulah akan nampak oleh pelupuk mata raut lelah letih menantinya dihargai barang sedikit, walau sejenak, hanya sebentar.

Setelah merasa cukup, kusudahi percakapanku dengan waktu setelah mencoba menyampaikan isi hatinya tadi. Hujan yang tadi menemaniku bercerita tentang waktu juga sudah berhenti, menyisakan sedikit masa agar pelangi bisa melakukan pertunjukan warnanya. Aku menuju pelangi, bertanya.

kemudian tanyaku tertuju pada pelangi. Apa bosan ia menanti waktu dipergilirkan sehingga ia diperkenankan nampak. Adakah ingin ia muncul setiap waktu menggantikan mentari. Atau mungkin ia juga hendak menggantikan rembulan di malam hari?
Jawabnya sungguh sederhana, sesederhana ketika ia hadir karena terbias. Setelah hujan menyapa dengan lembut, pelangi datang tak kalah anggunnya. "Betapa aku bersyukur dengan setiap kesempatan yang diberikan sang Maha Indah, pemberi keindahan. Dengan begini, aku dirindukan para penanti warna-warni, para pecinta keindahan. Dan dengan begini, kuhantarkan mereka mengucap syukur pada Rabb mereka"

Perjalanan ku lanjutkan, menyempatkan diri bertemu setitik embun yang seiring siang menjelang, ia pun akan segera merelakan dirinya tak berwujud embun lagi...

dan untaian kata maaf pun diucapkan embun pada daun. "maaf, aku selalu menyamakanmu dengan daun yang telah terlanjur gugur karena tiba waktunya rapuh. ku hanya rindu ia, yang selalu memberiku ruang sebelum aku menetes jatuh ke tanah atau menguap karena mentari mulai menyengat. Mungkin ekspektasiku menginginkan kau seperti dia. Maaf... Namun tumbuhnya dirimu dan singgahnya aku, membuat semua terasa terulang kembali. aku menemukan kembali daunku, daun yang baik hati itu, daun yang permukaannya selalu ada untukku."

Perjalanan ini ku ingin teruskan, tapi sambil menunggu pertemuanku dengan yang lainnya, maka aku juga akan menunda waktu berbagi cerita ku denganmu tentang mereka. Tunggu saja, semoga waktu berbaik hatii mengantarkan kita pada masa itu. Ketika aku kembali dengan segudang hikmah, yang mereka izinkan untuk kubawa pulang untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar