Sabtu, 08 Juni 2013

Random post :o

Di beberapa momen, tinta pena ingin saja cepat merembes di atas kertas, membentuk rangkaian kalimat. Ide-ide meluncur bebas tanpa ampun. Sedetik, dua detik, tiga detik, dan detik-detik pertama, ide melesat jauh, wushhhh!. Tapi di kesempatan yang lain malah sebaliknya. Kelu, kaku, tinta pena beku, membuat diri mengumpat tanpa ampun dan mengutuk diri, mengapa bisa sekelu itu?

Lalu kemudian, ada pilihan, berpasrah kepada kedinamisan yang membingungkan ini, atau harus mencari pelumas biar tak pernah akan ada lagi kelu dan kaku, apalagi tinta yang beku. Maka, meski masih dalam sebuah kebingungan tentang pilihan itu, aku mencoba mencari jalan lain sekedar untuk membesarkan hati . Mungkin saja, di lain kesempatan, kata-kata ini akan terangkai menjadi satu tulisan utuh. Ketika ada ide yang berputar di kepala, berdesakkan menunggu terkatakan, maka saat itulah aku mulai menarikan pena. 
Memang belum pernah ada akhirnya, hanya penggalan-penggalan kalimat saja, dan ini diantaranya:

Sukma dan Resah
Setiap sukma manusia wajar resah, maka ketika kegelisahan menghampiri, itu bukan sesuatu yang buruk. Karena semua manusia nyaris mengalaminya setiap waktu secara bergantian, antara satu insan dengan insan lain. Bedanya adalah, bagaimana menyampaikan atau menumpahkan keresahan itu, apakah dengan cara-cara yang terlalu biasa, cenderung berlebihan atau mengemasnya dengan elegan dan penuh hikmah yang bisa dipetik orang lain?

Pelangi
Tabiat manusia, suka menyukai sesuatu dalam suatu rentang waktu. dan kali imi, mungkin saja aku sedang menyukai berkisah tentang alam yang setiap hari bersapaan denganku. Kali ini aku teringat percakapanku dengan pelangi beberapa waktu yang lalu...

Singkat ia berkisah yang intinya: Bahkan pelangi tak sadar ada warnanya yang sedikit memudar, tetapi bagi arak-arakan awan, pudar itu mengganggu.

Lalu bagaimana harusnya pelangi menyikapi memudarnya warna dan warninya? Apakah itu bagian dari kedinamisan yang diterima dengan tangan terbuka?Ataukah sesuatu yang harus buru-buru ditepis sebelum warna-warni pelangi berubah? Kalau begitu, bila konsisten harus jadi pilihan, masih bolehkah pelangi berusaha lebih elok dengan membuat dirinya lebih berwarna? Awan yang berarak, mentari, dan hey kalian semua, pelangi butuh jawaban kalian.

*postingan ini mungkin akan bertambah seiring waktu, bertambah seiring kedinamisan lain yang membuat tangan ini menarikan pena, bertambah seiring dengan ide yang berdesakkan, dan seiring penggalan-penggalan kalimat yang mengantri untuk jadi sebuah tulisan utuh 


Selasa, 04 Juni 2013

dan pagi ini, embun mengajariku :)

Bulan Juni, kusapa dengan sebuah postingan tentang embun. Pagi ini, aku teringat pada setitik embun. Dan pagi ini, ia mengajariku... :)

Pagi ini, embun yang sejenak singgah di dedaunan menyempatkan waktu berkisah tentang dirinya...

Belajar dari setetes embun, tentang sebuah penerimaan yang indah. Pagi ini dia ditakdirkan untuk menjadi setetes embun, disinari mentari, lalu menguap, itu yang ia alami pagi ini. Ia tak pernah berusaha untuk bertahan menjadi embun sepanjang hari, karena ia tahu ia akan sendirian...

Sebuah proses panjang dan sistematis mungkin akan dilaluinya, mengantarkannya pada sebuah takdir yang lain. Besok, mungkin ia akan berada di gelas-gelas, membasuh dahaga, 
atau... 
besoknya lagi mungkin ia akan ada di antara ribuan bulir air lainnya, menjadi penghantar seorang hamba yang rindu pada Rabbnya, penghantar seorang hamba untuk mengaduh dan berkeluh kesah pada Rabbnya, berwujud wudhu, membasuh raga dan hati si hamba.

Proses yang dilalui setetes embun tadi begitu panjang, sebuah penerimaan yang indah terpatri disana. Mungkin hari ini, ia punya impian untuk menjadi bagian dari wudhu yang membasuh seorang hamba, tapi untuknya disiapkan hari esok untuk itu. Maka tulus dan ikhlaslah embun ini menjalani perannya sebagai setetes embun yang harus teruapkan oleh mentari. Ia yakin, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya hari ini. Selalu ada penerimaan yang indah, sebuah keikhlasan, dan harapan hari esok. Bismillahirrahmanirrahim... hamasah :)