Surat Terakhir Papa…
17 Maret 2012, pukul 06.00, kami
siswa/I kelas XII Man Insan Cendekia Gorontalo sudah berkumpul di ruang
Auditorium. kami tak tahu pasti apa yang akan kami lakukan disana. hanya bias menduga-duga.
mungkin hari itu aka nada pencabutan nomor urut untuk praktik Bahasa Indonesia.
entahlah, hanya itu yang bias kami terka.
Terkaan kami tidak salah, hari
itu majelis kami berhubungan dengan praktik Bahasa Indonesia, hanya saja ada
agenda yang dirancang oleh Guru Bahasa Indonesia kami, Ibu Dewi Budi Purwati,
atau Budhe, yang tidak kami ketahui sebelumnya. Hari itu, beliau menyajikan tayangan-tayangan renungan
tentang orangtua. Isak tangis terdengar saat muhasabah itu berlangsung. Setelah
dirasa cukup untuk perenungan, kami diminta untuk menuliskan kata hati dan
permohonan restu untuk dikirim kepada orangtua kami di rumah. Dan inilah kali
pertama aku menulis surat untuk orangtuaku. Saat itu, Budhe mengingatkan untuk
menulis sesuai dengan kata hati, selagi masih bisa dibaca oleh orangtua. Tidak
ada yang menjamin, setelah ini orangtua masih bisa membaca tulisan kami atau
tidak. Hari itu, aku tidak peduli lagi, aku akan ditertawakan atau tidak. Aku
terus menulis sesuai apa yang kupikirkan. Di akhir tulisan, kami diminta untuk
menuliskan sesuatu yang intinya meminta orangtua membalas surat kami.
Surat kami pun dikirimkan, ada
surat yang sudah terbalas tiga hari setelah pengiriman. Sedangkan suratku, baru
sampai di rumah minggu berikutnya. Telepon dan kunjungan Mama dan Papa sudah
mendahului sampainya suratku di tangan mereka. sudah ku wanti-wanti, tulisanku
jangan ditertawakan, atau mohon dimaklumi karena saat menulis itu, aku sedang
emosi.
Sekitar seminggu dari sampainya
surat itu di rumah, atau kira-kira dua minggu setelah surat itu ditulis, aku
menerima paket yang didalamnya juga ada surat balasan dari Papa dan Mama. Surat
mereka dipisah dalam dua lembar. Menurut cerita Mama, Papa dan Mama
masing-masing menulis surat itu seusai sholat shubuh 1 April 2012. Ternyata ini
surat terakhir Papa, yang menuju kehidupan selanjutnya sembilan belas hari
setelah menulis surat itu, 20 April 2012. Beberapa hari setelah menerima
surat-surat itu, aku menyalinnya di binderku, agar aku bisa membawanya
kemana-mana. Dan inilah, surat yang membuat aku meneteskan airmata saat
membacanya, tapi tak pernah berpikir bahwa ini surat terakhir dari beliau.
Bungsu yang manja!
Papa sudah membaca Indri pe surat serta memahami isinya, apa yang Indri
ungkapkan sudah merupakan apresiasi dari kepribadian yang tulus dan sadar dari
seorang anak yang semakin dewasa.
Soal keberadaan Indri yang merasa belum bisa berbuat apa-apa dalam
kehidupan, untuk Mama dan Papa dengan segala keterbatasan untuk membahagiakan
anak-anak dan terlalu berambisi menginginkan semuanya boleh berhasil tidak
menghendaki imbalan apapun, selain daripada semuanya menjadi anak yang abik,
sholeh dan sholehah, dan boleh diterima oleh sesama dan dapat menjaga diri dan
martabat sebagai seorang muslimah.
Papa lupa pegang di idong pa Bungsu
Tekunlah belajar untuk menggapai cita-cita luhur.
“Student today leader tomorrow”
Hormatilah gurumu, kasihi sesama teman
Selamat mengikuti Ujian Nasional. Insya Allah dapat memperoleh nilai
sempurna. Amien
N/B : Ingat kesusahan waktu
Indri menyelesaikan studi di SMP N Kotamobagu, begitu menderita, tapi akhirnya bisa
lulus dan selanjutnya berhasil masuk IC
Bintauna, 1 April
2012
Peluk cium Papa dan
Mama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar