Sebuah
catatan kecil pasca Ujian Nasional 2012
#part 1
Catatan ni bukan untuk meratapi,
hanya sebagai pengingat saja bahwa kita semua akan “kesana” dan kita harus
mempersiapkannya agar berakhir dengan baik… J
19 April 2012, sejak pagi, sebelum
memasuki ruangan untuk hari terakhir, suasana euphoria sudah terasa, betapa
tidak, ini adalah akhir dari rangkaian perjuangan akademik yang dijalani selama
3 tahun. Setidaknya setelah ini, bisa menghembus napas lega sejenak.
Pukul 13.00 WITA, keluar dari
ruangan ujian, dengan ekspresi bermacam-macam. Beberapa teman sibuk saling
bertanya kunci jawaban, tak berapa lama kemudian saling tos, pertanda jawaban
mereka benar. Tapi entah kenapa, saat itu, walaupun yakin sudah terisi dengan
baik, tak ada yang membuatku puas. Seperti ada sesuatu yang mengganjal hati.
Tiga hari sebelumnya, hari pertama Ujian Nasional, aku cemas karena lembar
jawaban komputerku basah oleh keringat. Aku berkesimpulan, perasaan tak enak
hati ini mungkin juga karena kecemasanku beberapa hari yang lalu itu.
Sore itu, setelah mengurus izin
untuk pulang berlibur selama 3 hari, bersama dua orang teman yang hendak
berlibur dan keluarga yang menjemput, aku pulang ke kampung halaman. Menemui
Papa dan Mama yang menunggu di rumah. Tidak sempat menjemput karena harus
menjalani tugasnya. Sebelumnya, kami (aku dan rombongan yang menjemput) mampir
ke sebuah toko untuk membeli pesanan Papa dan Mama, sebuah modem untuk kupakai
agar aku tak bosan selama berada di rumah. Kakak sepupuku, entah kenapa, merasa
harus mendapatkan modem itu sekarang. Tak bisa ditunda.
Perjalanan yang cukup panjang dan
lama, akhirnya kami sampai di rumah. Pukul 22.30 kurang lebih, dan Papa yang
membukakan pintu untuk kami. Di waktu selarut itu, kami sempat-sempatnya bergurau. Teman-temanku, Qonita dan Zahra,
terus tertawa karena candaan Papa malam itu. Waktu menunjukkan pukul 01.30,
Jum’at 20 April dini hari, setelah lelah bergurau, semuanya memutuskan untuk
tidur. Dan kali ini, aku meminta untuk tidur satu ranjang dengan Papa dan Mama.
Walaupun kaki kami sudah tidak mendapat tempat di ranjang, buktinya aku tetap
tidur nyenyak. Tapi ternyata tidak dengan Papa, semalaman Beliau gelisah, Mama sering
terbangun karenanya. Akhirnya, menurut cerita Mama malam-malam sesudahnya,
malam itu Papa bangun untuk mengaji, meenenangkan kegelisahan beliau.
20 April 2012 pagi, bersama Qonita
dan Zahra, aku berkunjung ke pantai di belakang rumah. Sepulang dari pantai,
kudapati Papa sedang memanaskan mesin mobilnya. Mama sedang siap-siap untuk ke
kantor. Hari itu hari Jum’at, seharusnya beliau berdua sudah berangkat sejak
pagi, lebih awal dari hari lainnya karena ada agenda olahraga. Tapi kali itu
tidak, mereka berangkat sudah agak siang, jam delapan. Papa masih sempat
memberi makan bebek-bebek peliharaannya,
yang dipanggil rui-rui. JIka sudah mendengar Papa berseru “rui-rui”, maka
datanglah bebek-bebek itu mengerubungi beliau. Mereka tahu, pemiliknya mau
bagi-bagi rezeki. Kami anak-anak sedang belajar memasak, hari itu kami meminta
Papa untuk mencicipi masakan kami, aku lupa apa Papa sempat mencicipinya atau
tidak. Setelah itu, Papa dan Mama berangkat ke kantor yang jarak tempuhnya
memakan waktu satu jam dari rumah, Ibukota Bolaang Mongondow Utara, Boroko.
Sepeninggal Papa dan Mama ke
kantor, kami beraktivitas hanya di dalam rumah saja. Ada yang baca novel,
mencuci baju, sedangkan aku, berinisiatif untuk membersihkan sebagian rumah.
Ini sebuah kemajuan bagiku yang pemalas. Sampai-sampai Qonita berkomentar,
“tumben ngana rajin Indri”. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin
bersih-bersih. Kubersihkan ruang makan dan dapur, serta ruang tengah. Depan
kamar Papa dan Mama juga kubersihkan. Senang rasanya, bisa membersihkan rumah.
Sepanjang hari, tidak ada aktivitas yang istimewa. Yang kuingat, sore hari
jum’at itu, temanku menelepon dan masih sempat menanyakan kabar Papa dan Mama,
aku sempat bercerita hobi baru beliau, memelihara bebek. Kukatakan pada temanku
itu, Papa dan Mama sehat wal’afiat, karena memang begitulah adanya yang
kulihat.
Hari beranjak malam, sambil menunggu
Papa dan Mama pulang, aku bersama teman-teman bercengkrama di ruang depan. Aku
menceritakan bagaimana keluarga beberapa tahun lalu, ketika aku masih kelas 7
di sebuah SMP di Kotamobagu, bagaimana aku menyaksikan Papa dan Mama mengalamai
kesulitan financial sementara mereka punya kewajiban untuk membiayai
putra-putrinya dan mereka sendiri. Suasana berubah agak melankolis, tapi aku
berusaha untuk menceritakan tidak dengan nada menyedihkan, karena aku tidak
merasa sedih karena hal itu. Sebuah pengalaman yang menarik untuk diceritakan
nanti, bahwa aku pernah juga menyaksikan langsung perjuangan sebuah
keluarga.
Tiba-tiba Mama menelepon, meminta
untuk dibuatkan bubur. Papa kurang enak badan sejak sore tapi masih bisa
mengendarai mobil. Tak berapa lama, mereka sampai di rumah. Papa yang kurang
enak badan masih menyempatkan diri untuk makan malam bersama, dan malam itu
sempat menghabiskan dua piring bubur dengan lahap. Sampai-sampai kakak sepupuku
yang berkunjung ke rumah malam itu berkomentar, “Papa ade ini ada saki mar rupa
ndak saki noh, dua kali ba tambah”. Papa pun menimpali, “sapa bilang papa ade
da saki, cuma rasa lalah sadiki ini”. Obrolan pun berlanjut, aku tidak memahami
betul beberapa bagian obrolan itu, urusan kantor Papa. Yang masih kuingat dari
obrolan ringan terakhir itu adalah beliau berpesan agar cucu-cucunya (anak-anak
dari sepupuku) agar disekolahkan di sekolah yang sama dengan kami berempat.
Papa juga sempat berkomentar, bahwa aku inginnya menjadi atasan bukan pegawai
biasa, aku setuju, dan mengajak Papa untuk “tos”. Setelah makan, Papa kembali
ke kamar, teman-teman ke ruang depan untuk membaca novel dan online, aku dan
Mama sedang mencari koran yang memuat berita tentang Mama.
Mama terus mencari berita tentang
beliau tapi tak ditemukan, kami terus mencari sambil menyanyikan sebuah lagu
yang liriknya “di do’a ibuku, namaku disebut………….”, sementara Papa beristirahat
di kamar, tak jauh dari tempatku dan Mama waktu itu. Aku bolak-balik dari depan
kamar yang berada di bagian belakang rumah-tempat aku dan Mama berkutat dengan
tumpukan koran-menuju ruang depan. Ketika berada di ruang depan, Mama
memanggil, katanya aku dipanggil Papa. Biasanya, jika dipanggil Papa, sudah
pasti beliau memegang hidungku, dan meledek. Tapi kali ini tidak, beliau hanya
diam, berbaring menyamping memeluk guling kesayangannya sembari menatap kosong
dinding di depan beliau. Aku menghampiri hendak memijat, aku duduk di samping
beliau, sambil sesekali bergurau “Pa, mo ba uru ini mar ni tangan kacili noh,
nyanda mo dapa rasa stau”, sambil memegang lengannya. Tapi tak seperti
biasanya, beliau tak merespon. Aku maklum, dan segera meninggalkan beliau di
kamar, “Istirahat jo dang, Pa”.
Aku kembali menuju ruang depan
untuk online. Aku sempat singgah di tempat Mama yang masih mencari berita,
meminta untuk dipanggil jika beritanya sudah ditemukan. Tak berapa lama saat
aku online, Mama berteriak dari belakang memanggil namaku, merasa Mama
memanggil hanya untuk memberi tahu soal koran itu, aku hanya menyahut “Tunggu,
Ma”. Tapi Mama terus berteriak, akhirnya aku menuju kamar dan kudapati Mama
sedang duduk bersimpuh memegangi Papa yang sudah telentang tepat di depan pintu
kamar mereka. Mama panik, aku diminta untuk memanggil kakak Papa. Aku berlari,
tanpa peduli pertanyaan teman-teman yang bingung kenapa aku begitu panik. Tak
berapa lama, banyak sudah kerabat yang berkumpul di rumah, Papa masih dalam
keadaan telentang di tempat yang sama, tatapannya kosong menatap ke
langit-langit rumah. Mama memintaku untuk membisikkan kalimat-kalimat Allah dan
Syahadat di telinga Papa, aku sempat melihat lidah beliau bergerak-gerak,
semoga saja mengikuti ucapanku menyebut Allah. Mama dengan cepat mengganti baju
dan memutuskan membawa Papa ke Puskesmas. Syukurlah, banyak orang yang membantu
membawa Papa.
Sesampainya di Puskesmas, Papa
langsung ditangani tim medis di Unit Gawat Darurat. Selama aku hidup, baru kali
ini aku melihat Papa dibawa ke UGD dan memerlukan pertolongan darurat seperti
ini. Di luar ruangan UGD, sudah banyak kerabat yang menunggui proses perawatan
Papa, Mama cemas, tapi tetap dapat menguasai emosinya. Saat menunggu, aku
diberikan Al-Qur’an untuk membaca Surat Yasin untuk Papa. Tapi hatiku saai itu
tak secemas waktu pertama kali melihat Papa telentang di depan pintu kamar.
Teman-teman menenangkanku, semua akan baik-baik saja. Tak lama setelah aku
menyelesaikan Yasin, aku dipanggil masuk ke ruangan UGD. Kulihat Papa sedang
dipacu jantungnya agar kembali berdetak normal. Aku meminta izin kepada suster agar
aku bisa kembali membisikkan syahadat ke telinga Papa, hatiku semakin tenang.
Semoga saja aku ikhlas dengan apapun yang akan terjadi selanjutnya. Upaya
memacu jantung Papa terus dilakukan. Dokter memanggil Mama untuk bicara di
ruangannya, setelah itu Mama masuk dan berkata sesuatu pada Papa, “Pa, Mama
deng anak-anak so ikhlas, tetap Mama mo kase skolah Papa pe amanah, pigi jo
bae-bae neh Pa”. Setelah itu, Mama keluar dari ruang UGD, seketika suara
tangisan membuncah di luar, kerabat sudah mengetahui apa yang terjadi. Papa
sudah pergi, aku yang masih ada di dalam masih sempat berbisik sesuatu di
telinga Papa. Dengan Al-Qur’an yang masih ada di pelukanku, aku mencari
sandaran di sudut ruangan itu, dan sejenak berpikir, Papa sudah pergi, apa yang
akan terjadi setelah ini. Aku bingung, kenapa aku tidak menangis meraung-raung
seperti apa yang kucemaskan selama ini. Sebelumnya aku begitu khawatir tidak
bisa ikhlas melepas orangtuaku jika mereka ditakdirkan untuk berpulang. Tapi
malam itu, walaupun dengan airmata, setidaknya apa yang kukhawatirkan tidak
terjadi, aku yakin aku bisa kuat. Aku keluar dari ruangan UGD setelah jenazah
diusung keluar. Di luar, semakin terdengar tangis saudara-saudara yang bersedia
menunggui Papa. Aku pulang ke rumah bersama Papa yang diusung dalam sebuah
ambulans, baru aku mengerti kenapa aku begitu rajin membersihkan rumah sejak
pagi. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, banyak yang kupikirkan. Tentang
bagaimana setelah ini. Tentang betapa Allah itu Maha Adil, Papa masih diizinkan
untuk melihatku selesai ujian. Tentang aku yang masih diizinkan bertemu dengan
beliau, bahkan beliau masih sempat mengunjungi anak-anaknya di Jawa. Tentang
bagaimana semua proses sakaratul maut beliau yang begitu cepat dan tidak
menyusahkan orang lain. Tentang surat terakhirnya untukku (yang kata kakakku
surat paling “kampion”). Tentang betapa beruntungnya aku, mengantar kepergian
beliau dengan syahadat dari lisanku, tentang Yasin terakhir yang beliau dengar
dariku.
Potensi kamu jd penulis baik.. sy jd penasaran merekrutmu..
BalasHapus#apacoba
Semoga almarhum tenang dan dilapangkan kuburnya... memiliki anak shalehah adalah amal jariyah tiada terkira.. semangat indri!! Subhanallah menetes ni air mata :')
BalasHapus